Kamis, 07 November 2013

Fokus yang Indah




Hujan kembali menyapa. Sejak beberapa bulan terakhir, hujan menghilang tanpa alasan yang jelas. Kupandangi dedaunan yang menari riang gembira. Yah, masih ada secercah bahagia, gumamku dalam hati. Aku sepi tak berkawan kala semua mengawan dan berkawan, entah karena aku terlalu tak peduli atau mengacau, entahlah.
Saat ini di tanganku tergenggam sebuah kamera yang sudah lama aku inginkan. Impianku menjadi seorang fotografer ternama di dunia akan segera terwujud. Aku mencoba mengatur fokus dan ketika itu kudapati seseorang yang menjadi sasaran terbaikku saat ini. seseorang itu sedang fokus pada sebuah bacaan. ia tak menyadari bidikan kameraku, alhasil aku mendapatkan hasil terbaik sore ini. siapa orang itu? Sebuah tanda tanya besar muncul dibenakku, dan sekali lagi aku jawab, entahlah. Ketika sedang asik-asiknya mengatur fokus, aku tau ia mulai sadar dan melihat kameraku. Secepat cahaya aku beralih kepada pemandangan sekitarku. Berhasil !! ia mulai membaca bukunya lagi. Saat melihat-lihat hasil bidikanku, tiba-tiba ada suara, “maaf, mba, bukunya jatuh dan kertasnya berjatuhan.” Ia !!! yang membaca buku itu. Aku hanya bisa terdiam sejenak dan tanpa sadar aku tak berkedip sama sekali. “mba ? mba ?”, “oh, iya, makasih ,” ia tak menjawab malah berlalu begitu saja. Bingung, aku hanya memikirkan kata-kataku, apa ada yang salah ? seingatku tidak. Tidak sama sekali, ternyata dia orang yang tidak jelas.
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang sebelumnya. Hhhh, tapi aura pagi ini lain, ada apa yah ? “dan, sini bentar !”, “siap, bu” aku bergegas ke dapur. “ibu kehabisan bahan untuk kue, bisa nggak kamu ke swalayan depan itu loh,” “oh, bisa kok bu, aku selalu bisa kok, kalau untuk ibu ku tercinta apa sih yang nggak ?” “ehm, bisa aja, pasti ada maunya” “ihh, ibu suudzon aja, tapi ada benarnya juga sih” aku melihat muka ibu yang tiba-tiba saja berubah datar. “nggak kok, bu, kidding, bu”, “yaya, terserah, udah cepat kamu pergi biar bisa cepet selesai”. “siapppp” jawabku dengan cara menghormat pada ibu seperti saat upacara.
Ada banyak alasan mengapa aku tak begitu suka namanya swalayan. Karena pasti didalamnya banyak orangnya, dan aku tak suka keramaian. Ditambah antrian yang sangat panjang membuat kesalku makin menjadi-jadi. Setelah mencari-cari letak bahan-bahan untuk kue, kumasukkan beberapa bahan yang diperlukan oleh ibu. Setelah selesai, aku berjalan ke arah makanan-makanan kecil. Tiba-tiba, kaki ini berhenti dan membeku. Oh Tuhan, itu lelaki yang kemarin. Terlihat ia sedang memasukkan beberapa makanan kecil ke dalam keranjang belanja. Apa ? apa yang harus kulakukan? Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku melangkah maju dan mulai memilih-milih. Dia seperti tak menyadari kehadiranku dan berlalu saja tanpa permisi. Pundakku langsung melemah, bodoh bodoh bodoh, mana mungkin dia ingat. Hhhhh, mengantri. “maaf, mba ini punya mba?”, aku menoleh dan mendapati topi syalku ada di tangannya. Ya, tangan dia. “oh, iya, terimakasih”, aku memasang senyum terindah, namun ia hanya menunduk. Aghhh, ini cowok maunya apa sih? Segera kubalikkan tubuhku menghadap ke depan kembali.
Ketika sampai di luar, kudapati hujan turun tanpa permisi, aku termenung sejenak dan kuputuskan untuk membaca buku di dalam toko buku yang ada di jejeran swalayan ini. detik demi detik kulewati hujan di luar semakin menggila. Aku tak membawa kameraku, dan itu merupakan kesalahan terbesar karena kini aku bosan dan aku perlu kameraku. “ikut gabung, yah”, aku yang sedang menhadap jendela menghadap arah suara dan kudapati ternyata lelaki itu lagi. Kesal, karena responnya terhadapku tak pernah baik kubalikkan tubuh ini lagi menghadap jendela. Hening. Sebenarnya aku benci keheningan yang tak jelas seperti ini namun respon orang di depanku selalu saja datar sehingga membuatku malas untuk memulai terlebih dahulu. “sayannngg, ...” terdengar sebuah teriakan membuat semua orang termasuk aku dan dia dengan refleksnya mengarah pada arah suara. Ia membalikkan tubuh dan menghadapku, mukanya berubah menjadi masam. Ada apa? Wanita itu menghampirinya dan memeluknya dengan mesra serasa aku tak ada di antara mereka. Apa-apaan ini? perlahan kubalikkan tubuh ini dan kembali menghadap jendela. “lepasin, apa-apaan sih, ra? Kamu mau membuatku malu?”, “ kok kamu gitu?,” “gitu apanya? Apa kurang jelas ? aku gak suka sama kamu,” laki-laki ini jahat sekali. Geram, aku langsung membalikkan tubuh dan “eh, lo tuh gak punya perasaan apa? Masa nolak cewek di depan umum gini. Apa lo gak ngerti rasanya dipermalukan di depan umum? Dasar cowok aneh. Lo bayangin dong, gimana kalau kakak lo atau adik lo yang dipermalukan di depan umum, apa lo tega? Arggghhhh, gila gue di sini,” aku berlalu begitu saja tak ku hiraukan berbagai macam pandangan orang termasuk responnya pun aku tak mau tahu, paling-paling hanya kata ‘oh’.
Hujan masih menguyurku dengan derasnya, tak ada pilihan lain lagi aku tak bisa terlalu lama di tempat terkutuk itu. Aku tak bisa menahan ini, aku merasakan sesak seketika dan air mataku pun jatuh perlahan dan semakin deras. Kenangan buruk itu muncul lagi, kenangan saat aku mengatakan aku suka pada seorang pria namun pria itu hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia sudah mempunyai pacar. Arggghhh, aku terduduk di pinggiran jalan dengan tetap menangis. Aku merasakan kesedihan wanita tadi. Aku yang ditolak seorang pria di belakang sekolah saja sudah begini sakit apalagi wanita itu ditolak secara terang-terangan di depan umum. Tiba-tiba derasnya hujan tak kurasakan padahal suara hujan tetap ada, penasaran aku menengadah dan melihat dia dengan basah kuyup sedang memayungiku. “malah bengong lagi, ayo cepat bangun, dingin nih,” tak kuhiraukan perkataannya. “hey, cewek sok tahu, ayo bangun” apa dia bilang? Cewek sok tahu? Aku mulai berdiri dan ketika ingin jatuh lagi, tangannya menyanggaku. “terimakasih,” jawabku singkat seraya berlalu. Ayo kejar, please kejar, ternyata ia pulang sendiri dengan mobilnya. Terus tadi ia apa-apaan ? hanya numpang lewat? Entahlah.
Keesokan harinya, aku terduduk di taman, pertama kali aku mendapatkan sosoknya. Tak berpikir jauh, aku hanya sedang memikirkan hal terakhir yang ia lakukan. Huh, dasar perempuan dibaikin dikit aja langsung gede rasa. Lelah rasanya memikirkan hal yang tak pasti. Segera saja ku gerakkan kameraku untuk mengabadikan sore ini. Tepat saja di bangku yang sama ia duduk di sana. Apa maksudnya? Enggan aku melihat sosoknya yang tak pernah jelas dimataku, siapa dia, bagaimana kehidupannya, aku tak tahu semua itu. Bosan di taman, akhirnya aku pergi ke perpustakaan daerah. Sepi, tenang dan menyejukkan, setelah membaca beberapa buku, kantuk menyerang dan tak bisa kutahan lebih lama lagi. Waktu berlalu dan tak terasa sudah pukul 6 sore. Terkejut karena mendengar pengumuman perpustakaan tutup 10 menit lagi, dengan tergesa-gesa ku kembalikkan buku-buku yang tadi sempat kubaca hingga sampai buku terakhir letaknya tinggi sekali, karena terlalu tergesa-gesa belum berhasil mengembalikkan buku, seluruh buku yang ada di rak tertinggi itu bergerak dan jatuh tepat di kepalaku. Seketika menghitam.
Ruangan ini berwarna putih semua, apakah aku di surga ? tidak-tidak, terakhir ku ingat aku ada di perpustakaan. Siapa yang membawaku ke tempat ini?. Jendela di ruangan ini terbuka, segera saja ku melihat jendela dan melihat suasana di luar, kulirik jam dinding menunjukkan pukul 8. “eh, sudah bangun,” kubalikkan tubuhku dan melihat seorang suster datang membawa sarapan pagi. “selamat pagi,” sapanya dengan hangat, aku hanya tersenyum. “pacarmu itu perhatian banget yah, sampai mau membopongmu sendirian ke ruangan ini, ketemu di mana sama orang sweet kaya gitu.” “pacar? Maksud, mba siapa yah? Aku gak punya pacar loh, mba,” “waduh, lagi berantem yah? Udah baikan aja, cowok baik kaya gitu jarang banget loh ditemuin malah gak ada kayanya, saya juga pengen loh punya cowok kaya gitu, udah baikan aja,” ku hanya bisa mengerutkan dahi tanda tak mengerti apapun. “mba, aku gak punya pacar,” ku tegaskan kata-kata itu berulang-ulang. “paling sebentar lagi cowokmu yang sweet itu datang, udah sweet orangnya, sweet kelakuannya lagi.” Aku hanya memanyunkan mulutku tanda bahwa aku tak ingin menggubris suster aneh ini. “yaudah, saya permisi dulu, selamat pagi, salam buat cowoknya, hehe,” aku hanya terdiam dan kembalikkan tubuh menghadap jendela. Kamera? Yah kameraku ke mana? Segera saja kulihat meja tempat tidurku, tidak ada. Haduh, jangan panik, please. TIDAK !! kameraku ke mana? Kucari ke seluruh tempat yang ada di sekelilingku, lemari meja, kolong tempat tidur sampai kamar mandi ku jelajahi. Oh, tidak, YA ALLAH, kameraku ke mana? Pasrah karena sudah terlalu lelah mencari, aku kembali ke tempat tidur dan berharap ini semua adalah mimpi. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku terbangun dan kembali teringat kameraku, “kamera?” ternyata ada seseorang yang sedang membaca koran di kamarku. Pikiranku bercabang ke mana-mana, bagaimana kalau penguntit,atau pencuri,atau perampok, atau pemerkosa, atau pembunuh, atau dia mata-mata dari intel di Amerika, atau dia teroris? Bagaimana? Bagaimana ini? Ia megembalikkan koran ke tempatnya seperti semula. Setelah ia tersadar aku sudah terbangun ia hanya berkata “selamat sore, putri tidur,” dia? Dia lagi, tak tahan lagi akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, “kamu siapa?” “namaku? Aku Aji.” “kamu yang bawa aku kesini?” “ya, ada masalah?,” “kamu dapet salam dari suster di sini tadi pagi.” Hening. “namamu siapa?” “Indana, Indana Larasati, biasa dipanggil, dana.” Hening lagi. “ kameraku mana yah?” “oh, iya, ada di aku, nih...” seraya memberikan kameraku. Kulihat-lihat kameraku, “tenang, gak ada yang lecet kok. Tadinya kameramu mau aku simpan di sebelahmu saja, tapi sayangnya kamar ini tak bisa aku pegang kuncinya. Jadi untuk meminimalisir kejahatan sekitar aku amankan di rumahku, gak masalah kan?” “oh, makasih yah,” seraya kugulumkan senyum tulus untuknya dan tak disangka ia membalas senyumku. Luluh lantahlah hati ini, haduh bisa gawat ini. “eh, gimana keadaanmu? Udah gak kenapa-napakan kepalanya?” tangannya tiba-tiba saja mengarah ke kepalaku dan menyentuh benjolan di kepalaku dengan lembutnya, kutarik tangannya agar tidak menyentuhku lagi. “maaf,,” ia pun merasa bersalah dan menundukkan pandangannya. “gak masalah, jangan diulang yah?,” hening kemudian. “kak aji, boleh kan aku manggil kakak?” “oh, iya gak papah kok,” “kak, kenapa kakak bisa bawa aku ke rumah sakit?” “saat itu, aku yang jaga shift sore di perpustakaan..” “oh, jadi kakak penjaga perpustakaan?” “yah, aku lulusan ilmu keperpustakaan di sebuah universitas negeri.” “waw, kece banget” perbincangan berlanjut hingga tak terasa waktu berlalu, ternyata ia tak sedingin yang kukira.
Sejak hari itu, aku selalu ada teman ketika kemana pun, ia adalah tipe orang yang mudah mengakrabkan diri, tak seperti yang kubayangkan. Di kameraku, puluhan fotonya memenuhi memoriku, dan ternyata ia orang yang sangat akrab dengan kamera sehingga aku tak perlu memaksanya untuk bergaya ini dan itu, cukup dengan ia terdiam saja seluruh pemandangan yang ada hanya memperindahnya. Fokusku selama ini hanya dia, kami mengunjungi berbagai macam tempat, dan lagi-lagi hanya dia yang ingin aku potret dan senangnya ia pun dengan sukarela tersenyum ke arah kameraku. Sebenarnya aku yang berlebihan atau dia memang orang yang narsis? Entahlah. Tak sedikit pula, foto ketika berdua. Namun ia tetap yang termanis dengan lesung pipi yang menambah manis suasana. Disela-sela perjalanan, dia mulai banyak bercerita tentang kehidupannya, tentang keluarganya, tentang teman-temannya, bahkan tentang beberapa cewek yang ditolaknya beberapa kali. Tak jarang ia di’tembak’ seorang cewek sampai beberapa kali, sosoknya yang misterius memang menjadi tantangan bagi semua orang yang ingin mengenalnya lebih jauh. Buktinya sampai saat ini aku masih mengaguminya karena kemisteriusannya masih belum terungkap seutuhnya. Aku pun akhirnya tak ragu berbagi kisah yang sama dengannya. Namun bedanya aku tak memiliki pengalaman sama sekali tentang di’tembak’ itu, aku hanya punya satu dan itu pun aku yang mengutarakan. Dan sedihnya, ia malah menertawakan. “apa yang lucu, coba? Ini kan cerita sedih,” kumanyunkan mulut ini. “haha, iya sih sedih tapi ekspresimu itu loh gak nahan,” aku tetap bingung dan memasang wajah bingung dan malu. Tiba-tiba saja tangannya mencubit kedua pipiku, “ihhh, jangan mengelembungin pipi gitu, gemes tauu,” pipiku dicubitnya lagi. Aku kaget luar biasa dan tak bereaksi banyak. Ia tetap saja tertawa bahagia, lesung di pipinya terbentuk dengan sempurna, manisnya. Aku pun tersenyum bukan karena mengerti apa yang dia tertawakan tapi karena mensyukuri ada orang termanis yang aku suka di sampingku.
Malamnya, kami makan di sebuah restoran termewah di kota ini. “kak aj, kenapa makan di sini? Kaya orang pacaran aja,” “emang kita pacaran kan?,” tiba-tiba saja motor bersuara keras lewat. “hah? Apa kak? Maaf tadi ada motor lewat,” “oh, gak penting kok, mau pesan apa?” sepertinya ada yang disembunyikan,pikirku curiga. Tak lupa ku abadikan setiap waktu di sini dalam kameraku, “ngurusin kamera aja, makannya dingin tuh, aku aja udah abis,” “hah? Abis?, cepet banget,” memang benar piringnya sudah bersih dari makanan. “mau aku suapin?” tawarannya hampir membuatku tersedak, “gak, gak usah,” jawabku seraya masih menguyah makanan, “heh, telen dulu yang bener baru ngomong,” “ehehe,” “dana..” aku bingung, “ada apa, kak?,” ia tetap menatapku, “haduh, kak, aku takut kalau diliatinnya kaya gitu,” “hahaha,,” “idih, kok ngekek..” “tuh kan, terbukti kamu tuh lucu banget, gimana mau di’tembak’ cowok, baru diliatin gitu aja udah takut,” aku kembali menggelembungkan pipiku. “tenang aja, dana, aku gak bakal nyakitin kamu kok,” aku benar-benar tersedak, uhuk-uhuk, “hahaha,, “ aku benar-benar marah. “kak aji, aku tuh bukan badut, jadi jangan diketawain aja dong, malu tuh diliatin,” ternyata tertawanya masih berlanjut. “thank’s, dan, hari ini aku bahagia banget.” Aku terdiam, “hey, jawab, ini bukan jebakan kok,” “tetap aja, nanti diketawain,” “serius, aku berterimakasih banget ama kamu,” ketika itu, wajahnya menampakkan keseriusan. “hehe, sama-sama, kak,”
Malam itu menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya, keesokan harinya ia akan pergi ke Inggris untuk melanjutkan studinya. Tak pernah terbayang sebelumnya, seminggu terakhir ditemaninya ternyata sebuah kenangan terindah. Aku mengantarnya ke bandara. “kak aji, kenapa ngedadak gini sih?” “tenang aja, danaku, aku gak lama kok kan cuman ngejar beasiswa S2 selama tiga tahun,” “tapi kan,,” “eh, ayo foto,” “tetap aja yah, narsis nya gak ilang,” aku pun memotretnya dia memotretku, dan kami pun foto berdua. Ketika waktu penerbangan sudah tiba, “dana, maukah kamu menungguku?” aku mengerenyutkan dahi “yah, menungguku, tiga tahun lagi ..” aku semakin tak mengerti. “tolong, jangan terima siapapun, tiga tahun, dan, aku janji tiga tahun lagi aku akan memberikan yang terindah yang bisa kuberikan.” Dia memelukku dengan lembut dan kemudian pergi. tiga tahun lagi? Yang terindah? Apa yah kejutannya? Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. “kak  Aji, asal kakak tahu tanpa diminta pun aku akan menunggu kakak.” Ku ambil gambarnya dan ku fokuskan kameraku padanya yang semakin jauh.
Tiga tahun berlalu..
Tiba-tiba saja ada yang menutup mataku dengan slayer hitam. “aduh, gelap, apa-apaan sih?!” “haha, galak amat sih,” suara khasnya mampu mencairkan hatiku. “kak Aji, ngapain sih, kak. Kaya anak kecil aja deh. main petak umpet yah?” “yayaya, bisa jadi. Ayo, ikuti aku. Pelan-pelan, awas batu.” “sumpah, ya kak. Ini aku udah kaya orang buta aja.” “no comment,” setelah agak lama berjalan akhirnya berhenti juga. “sebelum buka mata, aku mau bicara dulu..” “yaelah, dari tadi kan udah ngomong,” “ini omongan serius. Please, kamu .. jangan ..mikirin aku terus yah” aku membalikkan badan, dan berjalan hendak pulang. “eh, iyayaya, jangan ngambek dong itu tadi bercanda.” “iya, udah tau kok makanya aku mau pulang biar kakak bercanda sendirian.” “jahat banget sih,” “ihh, suka-suka aku yah, abis bercandanya gak jelas gitu. Kak, menutup mataku udah boleh dibuka?” “makanya, ayo balik lagi tempat tadi tuh udah strategis banget.” Dia mengarahkanku lagi dengan sabarnya. “sekarang, buka matamu.” “sekarang?” “ya, kalau kamu mau sekarang.” Tak sabar dengan kejutannya aku membuka mata perlahan. Ketika melihat apa yang ada di depanku, tak bisa kupercaya ini. sebuah studio foto. “didalamnya belum ada apa-apanya sih, kan nanti diisinya sama .. eh kok kamu malah nangis?” ia menyodorkan saputangan padaku. Aku tak kuasa untuk melihat kejutan ini kupeluk kak Aji dengan spontannya. “kakak, aku bahagiaa banget. Terima kasih banyak.” Setelah sadar, aku langsung melepas pelukanku. “maaf, kak.” Ia hanya tersenyum. “oh, iya, dan, ayo masuk.” Ketika masuk aku terbelalak, ini ruangan terhebat yang pernah ada. “kak, tempatnya bagus banget. Nanti di sebelah sini ada meja, kursi..” dan selanjutnya aku sibuk merencanakan isi dari ruangan ini. “sebenarnya masih ada dua kejutan lagi.” Aku berbalik ke arahnya. “dua??” ia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti. “kejutan selanjutnya.. tapi sebelumnya tutup mata lagi dong..” setelah aku menutup mata, “nah, sekarang buka matamu..” aku membuka mataku dan bingung. “ini adalah tiket pesawat..” “anak kecil juga tau kali, kak” “eit, jangan dipotong dulu. Dua tiket ini adalah jalan untuk kita pergi ke Paris. Berita bahagianya, kamu selama di sana akan mendapatkan pelatihan menjadi fotografer dunia yang handal. Gratis, selama enam bulan.. Dan? Dana?” aku tak berkedip sama sekali. Ku cubit kedua pipi kak Aji. “kak Aji, aku senang banget” “aww, gak usah nyubit juga kali. Yah, kebetulan selagi aku di Inggris, aku bertemu banyak teman. Satu diantaranya yang punya bisnis fotografi terkenal di Paris. Dia menawariku dan aku langsung teringat satu makhluk terasingkan di Indonesia..” “apa? Makhluk asing? Kakak !!! aku tak akan membiarkan penindasan ini, liat saja tanggal mainnya,” “haha, kita tunggu saja. Selanjutnya kejutan terakhir. Ayo, tutup matamu..” kembali kututup mataku. “Now, open your eyes” aku membuka mata dengan perlahan. Aku kaget ketika posisi kak Aji tepat berada di depanku dengan tatapan tenangnya. “loh, mana kejutannya?” “kejutannya adalah aku.” “yee, bercanda lagi kan?” “serius. Dana, maukah kau menikah denganku?” selanjutnya dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah cincin. “Dana?” “haha, kakak bercanda mulu nih,” “Dana, aku serius. Kamu mau gak nikah sama aku?” “nikah? Kenapa kita gak pacaran aja dulu?” “tak ada kata pacaran dalam kamus hidupku. Dan satu prinsipku, aku akan mengenal lebih jauh tentang wanita ketika dia sudah kupilih menjadi calon istriku. Makanya, aku selalu menolak ‘tembak’an dari para cewek karena itu artinya mereka yang ingin aku, tapi akunya gak sama sekali. Dan ketika melihatmu pertama kali di taman, aku tau kamu adalah orang yang tepat.” “apa indikasinya aku dibilang tepat?” “pertama, kamu gak pernah sekalipun pacaran. Kedua, kamu itu orangnya optimis dan selalu berpikiran positif terbukti dari setiap percakapan, kamu selalu melihat sesuatu dari sisi yang berbeda. Terakhir, kamu itu hanya untukku, terbukti dengan tiga tahunnya aku di Inggris. Kita tetep kontekan, dan kamu tetap sendiri setia menungguku.” Aku terkagum-kagum, “jadi, selama ini kak Aji memperhatikanku? Ya ampun, sweet banget sih, diem-diem tapi tetap menilai.” “yee, keluar deh alaynya, cepet jawab, mau gak? Atau aku cari yang lain nih” “sok aja kalau bisa,” ia mencubit pipiku dengan kerasnya. “kak, sakit tau !!” “kamu tuh ngegemesin,” “sepertinya gak bakal ada yang sepertiku lagi,” “kok pede banget?” “iyalah, mana ada yang mau dicubit pipinya selain aku, mana ada.” “so?” “so, I agree with you, and accept your .. lamaran apa ya, kak, bahasa Inggrisnya?” “haha, sok-sokan pake bahasa Inggris, ok ok, sini tanganmu,” aku menyodorkan tangan dan dia memasukkan cincinnya di jari manisku. “kita nikah minggu depan. Semua udah beres, undangan siap disebar, tempatnya di Bali, chatering ok, dan sekarang kita tinggal fitting baju. Kita jalan sekarang?” “kak aji, ini namanya bukan tiga kejutan tapi berjuta kejutan..” “yayaya, gak usah alay gitu, biasa aja kok. Satu lagi, kamu gak usah panggil aku kakak lagi yah, kita kan sebaya.” “kok ? tau darimana? Umurmu baru dua puluh tahun, akupun sama.” “masa? Aku sembilas belas kok, belum dua puluh. Lagian kakak kan udah S2 masa baru dua puluh tahun?” “sembilan belas dari hongkong, hari ini kan kamu ulang tahun. Ehmm, jangan bilang kamu lupa ultahmu kapan. Iya, jadi aku ikut akselerasi gitu. SD, aku cuman empat tahun, SMP, aku cuman dua tahun, SMA aku juga dua tahun. S1 3,5 tahun.” “waw, pamer nih ceritanya. Eh tunggu dulu. aku ultah? Seriusan?” “hemm, mboh lah.” Jawabnya seraya berlalu. “Dana, cepet, kita udah ditunggu” “siap, kak.. eh, ihh, enakan kakak tauuu. Yayaya, panggil kakak aja yah, please..” “kesannya tua tau,” “ihh, kok kak Aji jadi manja gitu, ihh” aku segera masuk mobil. “Dana, siap-siap yah pipinya aku cubit sekeras-kerasnya,”
Dan begitu, aku kini mulai berkawan di negeri dongeng yang kuimpikan, Paris. Mimpiku takan terhenti sampai di sini. Masih banyak mimpiku yang lain yang akan kuwujudkan bersama sosoknya. Sosok yang duduk di taman itu dan sedang membaca buku. Kuarahkan fokusku padanya lagi dan lagi dan mungkin tak bisa kualihkan. Aku memang tak pernah merasakan yang namanya di’tembak’ cowok namun aku merasa kisah cintaku lebih indah dibanding yang lainnya karena kini ku tahu satu hal, jatuh cinta itu indah ketika kita sudah menjadi yang halal baginya.

Cerpen Untuk Hujan



Senja itu kususuri jalanan yang berair karena hujan. Huft hujan, entah mengapa ketika nama itu kusebut seluruh peredaran darahku terpacu dengan kerasnya sampai-sampai terasa menyakitkan. Tenang-tenang, aku menyugesti diriku sendiri. Pelahan rasa sesak itu menghilang, terlihat didepan sana ada kursi taman dan tempat itu tak kusia-siakan. Aku duduk dan mulai mengatur napasku dengan baik seraya menundukkan kepalaku. “capek yah, mba?” aku yang saat itu menunduk hendak menegakkan kepala dan “duugg” kepalaku dan dagunya terbentur dengan amat keras. Ia terlihat meringis kesakitan. Akupun tak kalah meringis. “maaf, maaf, lagian pake deket-deket segala. Kan jadinya kepentok,” seraya masih memegangi kepalaku yang lumayan sakit. “yaya, aku yang salah, maaf yah,” ia terlihat berjalan dan duduk tepat disampingku. “oh, iya kamu siapa? Aku Danang,”seraya menggulum senyum yang menampakkan lesung pipi nan manis. “aku Indana,” jawabku singkat seraya bangkit hendak melanjutkan perjalanan. “ehh mau kemana?” “pulang,” “aku boleh manggil kamu Dana gak? Kan biar serasi tuh Danang dan Dana,hehe” “apaan sih, aneh tau,” “please, aku doang kok yang manggil kamu dengan nama itu, boleh yah ?” “udah ngomongnya? Aku pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban aku segera berlalu. Huft huft huft , nasib nasib, udah tau lagi bete, ketemu orang sok akrab kaya gitu, makin ngebetein aja. Semoga besok aku tak bertemu dengan nya lagi. Doaku dalam hati.
Jam di tanganku menunjukkan pukul lima sore. Aku bergegas untuk pulang agar tak kemagriban dijalan. Jalanan terlihat ramai karena jam segini para pekerja kantor juga ingin bergegas sampai di rumah. Aku yang tak terlalu pandai menyebrang, ku paksakan untuk menyebrang karena tak ada jalan lain, aku yakin keramain ini tak akan berhenti secepat yang kumau. Ketika sebentar lagi di ujung jalan yang lain “tiiinnnnn tiiinnnn” “bruuukk” aku terjatuh dan legan kananku berdarah hebat karena tergesek trotoar. Aku yang tak terlalu tahan melihat darah, hanya bisa meringis sembari beringsut ke pinggir. Seketika semua mengabur dan gelap.
Bau obat-obatan menyegat begitu hebat. Aku yakin aku berada dirumah sakit. Kecelakaan itu, lenganku yang berdarah, yaya aku ingat semuanya. Kupaksakan mata ini terbuka karena ku yakin waktu magrib telah terlewati. “Dana, kamu gak papah kan ?” aduhh, kenapa harus suara orang ngebetein itu lagi. Setelah kubuka mata ternyata benar, lelaki itu dan seorang dokter berdiri tepat di sebelahku. “jam berapa ini?”tanyaku pada dokter. “jam sembilan,”  namun lagi-lagi lelaki itu yang berbicara. “astagfirullah, maaf bisa keluar sebentar dulu. Aku mau sholat dulu.” Merekapun keluar. Setelah selesai, aku membereskan barang-barangku dan bergegas untuk pulang. Lelaki itu masuk lagi, dan ia terlihat heran. “loh, kamu mau kemana?” “pulang lah, masa mau nginep dirumah sakit.” Jawabku ketus. Aku sadar tak seharusnya aku begitu pada orang yang baru kukenal, tapi dia auranya lain. “tunggu..” tangan nya meraih tanganku. “kenapa kamu sepertinya benci banget sama aku sejak pertama kali bertemu. Ok, sekarang aku benar-benar salah karena menabrakmu.” Kubelalakan mata ini, dan mulutku ternganga dengan hebat tak percaya akan pengakuannya. “aku sungguh, amat sungguh menyesal. Tolong maafkan aku,” seketika sorot matanya yang teduh menyiratkan penyesalan seketika itu juga hatiku luluh. “tolong maafkan aku, aku hanya ingin kita berteman. Maafkan aku teman,” aku terkesiap dan mulai mengendalikan diri, aku tak ingin terjebak untuk kedua kalinya. “ya, sudah kumaafkan.” Ku hentakkan gengaman tangannya yang nyaman dan bergegas untuk pulang.
“dorrr !! bengong aja, ayam dikandang mati tuh.” “apaan sih, ni” “ceile lagi galau yah?” “udah deh jangan sok tau. Gue ke kelas duluan yah.” “ehh, padahal gue mau nraktir loh,” “alaahhh, gak percaya.” Rini terlihat mengikutiku dan mulai berjalan sejajar. “lo kenapa?” aku yang bingung menghentikan kaki ini. Terlihat dagu Rini yang terangkat dan mengarah pada lengan kananku yang diperban, “ohh, ini, gue.. gue ketabrak mobil pas mau nyebrang,” suaraku perlahan-lahan menghilang karena kutahu respon Rini adalah “hahaha,masih aja belum bisa nyebrang, sumpah demi apapun, lo teman terlangka yang gue punya, haha. Terus-terus mobil nya lecet gak ? yang ngendarain cakep gak ? mobilnya bagus gak? Merk apa mobilnya?” aku yang sudah tahu bahwa Rini akan merespon seheboh itu hanya menatapnya datar. “udah? Gue ke kelas,” “wait wait wait, ok ok gue bercanda. Tapi ini serius loh,” “terserah.” Aku tetap melanjutkan perjalanan menuju kelas ku.
Dikamar aku disibukkan oleh berbagai tugas dan itu membuat waktuku tersita dengan amat banyak. “Indanaaaa ku yang cibi-cibi buka pintu doonnngg,” “indana nya gak ada,” aku yang menyadari kebodohanku terkesiap, aduh bego amat sih. Terdengar gelak tawa dari depan pintu. “haha, Indana, indana sampai kapanpun lo tetep aja tulalit,” aku membuka pintu dengan manyun. “puas lo,?” “puasss bangettt, haha,” “nihh, sebagai teman yang baik gue bawain makanan yang lo suka khusus edisi gue yang masak sendiri, karena gue tahu sahabat gue yang satu ini males banget yang namaya makan padahal punya penyakit akut. Dan satu lagi gue kesini buat nemenin lo yang jomblo gak kelar-kelar karena ditinggal pangeran hujannnn,” aku yang terheran-heran akhirnya tertawa juga. Ialah Rini, sahabat terbaik yang pernah aku punya. Ekspresif namun tetap bersahaja. Disela-sela saat aku makan, ia berceloteh ria tentang ditemukannya pangeran impian yang ia temui saat perjalanan kerumah ku. “dan namanya adalah Danannggg,” “uhukk-uhkk” Rini menyodorkan air minum. “makanya jangan terburu-buru dong.” Ia terlihat khawatir.
Sore ini aku duduk ditaman ini lagi tak menunggu siapapun hanya sekedar ingin duduk disini. Tak disangka, Danang datang. Entah kenapa, hati ini seperti dipenuhi bunga-bunga membuatku sesak untuk bernapas. “hay, teman, aku tahu pasti kamu disini saat sore hari,” aku tetap mencoba untuk acuh dan bergegas untuk pergi. “loh loh mau kemana?” “pulang. masalah ?” “main dulu, yuk” “main? Kaya anak kecil aja,” aku berlalu dan ia meraih tanganku dengan cepat dan nyaman dan akupun ditariknya berlari menuju mobilnya. Mobil ini berhenti di salah satu mall yang ada game zone nya. Setelah mencoba semua permainan, kami mendapat hadiah boneka yang amat besar. “ini buat kamu,” “tapi ini kan uang kamu,” “ini buat teman,” ia tersenyum lembut dan lesung pipinya muncul menambah kesan tulus pada senyumnya dan lagi-lagi hatiku luluh. Namun aku cepat tersadar, tidak tidak ia hanya menganggap ku teman. Loh, berarti aku berharap lebih, tidakk. Aku memukul-mukul kepalaku, dan kusadar ia sedang memandangiku dengan pandangan heran. Aku hanya bisa tersenyum lebar, ia pun tertawa dengan manisnya.  Setelah dari mall, kami berkunjung ke pasar malam dan bermain beberapa wahana, salah satunya bianglala. Aku yang takut ketinggian segera berjalan mundur, “ehh ehh, mau kabur yah?” ternyata ia ada di belakangku, “gak kok,” “takut itu sebelum mencoba, hayu coba? Tenang, kan ada teman,” lagi-lagi ia tersenyum. Aku yang meringis ketakutan akhirnya mengikutinya menaiki bianglala itu. Satu putaran bianglala ini berjalan seperti biasa namun pada putaran kedua, tiba-tiba saja bianglala ini berhenti dan sialnya tempat yang aku duduki bersama Danang berada paling atas. Dadaku seketika bergemuruh hebat, seluruh badanku gemetar. “Dana, kamu gak papah kan?” ia terlihat khawatir dan sedikit panik, aku hanya bisa menggelengkan kepala. “pak, ada apa yah ?” tanyanya ke bawah. “aduh maaf, den, oli nya habis, sekarang baru beli.” “gimana sih, pak, cepat ya, pak, teman saya ketakutan,” “siap, den,” aku yang makin gemetaran seketika kedinginan, aku baru tau ternyata aku benar-benar takut ketinggian. “Dana, liat aku,” aku mencoba menatap matanya, teduh, damai, dan menghangatkan. “aku disini, liat aku, ada aku disini.” “a..ak.. akuuu takut,” akupun tak tahan lagi dan akhirnya air mata ini pun mulai berjatuhan. “sstt, tenang,” ia pun berpindah menjadi duduk tepat disampingku. Perlahan ia menggemgam tangan ku yang kurasakan sudah mulai membeku. Ia tetap memegang tanganku namun matanya tetap memperhatikanku dengan cemas. Hening, sebenarnya aku benci situasi ini benar-benar benci akan situasi ini. Perlahan namun pasti kebekuanku mencair, tanganku perlahan menghangat, gemuruh didadaku sudah mulai mereda, dan berhasil aku kembali seperti semula. Setelah semua terkendali, aku menghempaskan tangannya, ia jelas terkesiap. “aku udah baikan, jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan yah,” ucapku ketus. “yee, bukannya terima kasih juga, malah marah-marah gak jelas gitu” jawabnya sembari manyun. “hah? Terima kasih ? kamu kan yang maksa aku buat tetep naik, terima sendiri akibatnya lah,” “yah, aku kira sih kamu pemberani ternyata.. kalah ama anak tk,” “cukup yah ngomongin anak tk, aku tuh gak tk tau,” jawabku makin kesal. “hahaha,” ia tertawa terbahak-bahak, aku yang melihatnya tertawa bahagia hanya bisa tersenyum.
Setelah capek berkeliling ria, Danang menyodorkanku sebuah permen kembang gula yang berwarna pink. “untuk temanku yang super jutek,” “apaan sih, gak lucu,” “jadi.. gak mau nih ? gimana kalau aku suapin?” “aku pulang.” “wait wait, ok ok, tapi setelah..” tiba-tiba saja ia menyemprotkan pistol air yang sukses membuatku kaget dan basah. Aku yang tidak terima segera mengejarnya tak kubiarkan ia lolos. Kami berhenti di tepi danau yang bermandikan cahaya lampu kota, “capek, duduk yuk,” terlihat ia mengatur napasnya dengan susah payah. Kami mulai memakan kembang gula itu, suasana berubah menjadi canggung karena disini hanya kami berdua dan kutahu yang ketiga adalah setan. “aku duluan.” Tanpa menunggu jawaban aku bangkit dan melangkah pergi. Namun aku berbalik lagi “satu lagi, err .. makasih buat hari ini..” aku segera berbalik lagi dan bergegas pergi secepat mungkin karena kutahu mukaku sudah mulai menghangat.
Malam itu seperti malam-malam lainnya, Rini datang membawa makanan. “dan lo tahu gosip-gosipnya dia udah suka ama cewek. Anak kelas kita juga..” “uhukk uhuuuk” “aduuuhh, lo kok batuk mulu kaya nenek-nenek deh, jangan-jangan lo suka sama Danang yah ?” aku hanya bisa menaikkan alisku sebelah tanda tak mengerti. “ceile, iya kan? Ayo ayo ngaku,” “ngapain aku suka sama dia,” “hmm,, ia juga sih masa lo suka ama yang sahabatnya suka juga, temen makan temen dong, bukan lo banget, hehe” temen makan temen? Jahat banget.
Sejak saat itu aku mulai menghindari Danang, aku tahu ia merasakan perubahan ini. Namun ini yang terbaik, aku tahu Rini menyukai Danang dan aku menyukai nya juga, tapi aku tidak mau disebut teman makan teman. Hingga saat itu, “please kasih tahu apa salahku, aku hanya ingin kita ber..kita berteman..” “masih banyak yang lain,” “tidak tidak, aku hanya ingin kamu.” “manja banget sih,” “serius, aku..” tiba-tiba saja Rini datang dan bertepuk tangan “prokk prokk prokk” ia pun tersenyum sinis “hebat banget yah, katanya ngapain juga suka sama Danang, tapi ternyata malah menelan ludahnya sendiri. Dasar munafik, serigala berbulu domba.” Matanya terlihat begitu membenciku. “ni, Rini kamu salah paham..” “ohhh, salah paham karena aku tak tahu semua ini dari awal, iya kan ?” “...” Danang pun angkat bicara, “itu benar, Dana gak salah,” “ yaya, kamu membenarkannya karena kamu menyukainya, haduuhh haduuh kalian ini ternyata serasi, yah, serasi munafiknya. Sudah lah, disini hanya buang waktu, bye” Rini pun berlalu. Aku hanya bisa terduduk di tanah meratapi apa yang terjadi. “dia tak pantas untuk menjadi temanmu,” “lalu siapa? Kamu?” bentakku dengan kesal. “maaf, aku membentak, aku hanya sedang membenci diriku sendiri,” “menangislah, na, kalau itu membuatmu tenang,” “ia hanya salah paham, aku tahu itu,” “ya, aku juga tahu, tapi jika kita menjelaskan saat ini juga sama saja kita makin menyakitinya, kita biarkan ia tenang dulu, begitupun dirimu. Setelah itu baru kita bicara, ok?” semua ini membuatku sesak dan seketika menghitam.
Samar-samar kudengar suara disebelahku, “ia menderita kanker otak stadium awal,” “apa, dok?” “iya,” “apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan yang lalu,” “oh, tidak tidak, tapi bisa jadi juga karena kepanikannya menghadapi sesuatu.” Apa? Kanker otak?  “Tidakkk!!!!” aku memegang kepalaku yang terasa sangat sakit seperti ditimpukin batu. “haduuhh,” “Dana Dana, tenang, aku disini, tolong! dokter,” “iya, silahkan anda keluar terlebih dahulu,” “baik, dok,”
Pagi itu, aku ditemani Danang yang selalu setia menemaniku. “Danang, kamu gak capek?” ia hanya tersenyum dan menggeleng. Tiba-tiba saja dari arah sebaliknya Rini datang, dan kemudian memelukku. “maafkan gue, na, gue salah paham, Danang udah cerita semuanya.” “gue yang harus minta maaf, maafin gue, ni”  “udah, na, udah gue maafin sebelum lo bikin kesalahan.”  Dan untuk kesekian kalinya Danang yang ada dibalik semua ini. Yah, hujan memang belum sepenuhnya dapat kulupakan namun danang ada disini, bukankah ini patut kusyukuri ? I still hope you, my prince rain.

Rabu, 06 November 2013

BERBEDA ^

Namanya kusamarkan menjadi Jian. Ku bertemu dengan nya brefing ke 2 dengan kelompok ospek universitas. Awalnya aku tak menyadari kehadirannya. Hingga akhirnya ia mengenalkan namanya sendiri di depan anak-anak kelompok. Badannya tinggi ideal, matanya sipit, ramah, suka memuji, enak diajak ngobrol, potongan rambutnya juga kece, hehe biasa aja sih rambutnya kaya dijambulin gitu, tapi itu menambah kesan kece badai. Hehe
Kegiatan kelompok berlanjut, begitu banyak tugas kelompok. Salah satunya membuat essai. Aku dan Ridho ditunjuk untuk bisa mengerjakan essai itu. Tak masalah karena disini Ridho lebih banyak menyumbang pikirannya, aku juga ada tapi tak banyak. Akhirnya aku memilih untuk menulis essai itu dengan tanganku. Ya walaupun kutahu ini bakal mempermalukan kelompok ku karena tulisanku yang terlihat amat absrak. Matahari turun perlahan demi perlahan,langit pun berubah warna menjadi orange. “yah, teman-teman kita sudahi dulu,” kata pemanduku. Kelompokku yang tadinya berpencar, ada yang mengecat caping, membuat essai , membuat name tag, berkumpul dan melaporkan pekerjaan kelompok sudah sampai dimana. Ketika semua sudah bersiap pulang, aku mendekati pemanduku dan berkata “mba, essai nya ditaruh di mba atau di eka?” kakak pemandu tak menjawab karena ia sedang membalas sms. Alhasil aku hanya manyun. “tulisan nya bagus,” terdengar suara, aku menegakkan badan dan didepan ku tepat ada cowok itu. Aku terkesiap, baru kali ini sedekat itu, aku sedikit mundur tapi jelas masih cengo. Baru kali ini ada yang bilang tulisanku bagus, seketika aku jadi terhura eh terharu. “beneran bagus loh, ia kan?” ia bicara pada teman sebelahnya. “kaya diketik loh,”. Alih alih berterima kasih aku hanya bisa menundukkan kepala dan tersenyum. “oh, taruh di eka aja yah,” ternyata pemanduku baru menjawab pertanyaanku.
Esoknya ada tekhnical meeting. Acaranya hanya mempersiapkan posisi kami yang akan memenuhi lapangan upacara sesuai gugus masing-masing. Berpanas-panas ria, berdebu-debu ria, bersenang-senang ria karena senin besok opek dimulai. Ketika univ lain sudah memulai kuliah tapi univku berbeda. Selesai acara, aku dan kelompok ku berjalan kearah samping lapangan untuk acara kepemanduan. Ketika sampai di pinggir lapangan, ada lubang selokan yang lebar menganga. Yang lain menyebranginya, namun bodohnya aku malah memperhatikan selokan itu. “lewat sini aja,” suara itu lagi. Ku tegakkan kepala dan melihat tepat diseberangku cowok itu lagi, yah jian lagi. “nih, lewat sini aja,” seraya tangan kirinya menunjuk jembatan kecil yang ada disebelahku.
Yah, itulah perhatian-perhatian kecil yang tak kusangka sebelumnya, tapi ini cowok auranya berbeda yah, pikirku dalam hati. Dan aura itu benar ketika kutahu ia berbeda, ia beragama selain agamaku. Kecewa? Jelaslah, hehe tapi tak apa ia masih bisa menjadi teman. Teman yang berbeda. J namun ia tak melihat itu semua, ia tetap ramah, ketika ospek selesai, aku mencoba meminta tanda tangan nya di caping ku dan ia tak segan-segan bergurau. “Jiannn, minta tanda tangan dong.” “boleh-boleh,mana yang kosong ini?” ternyata aku memberi bagian yang sudah penuh tanda tangan. “hehe, sebelah sini nih,” ku putar bagian lain dari capingku. Namanya Jian dari fakultas mipa jurusan matematika.

Rabu, 21 Agustus 2013

kemarin



           
Kemarin aku masih belajar untuk ulangan mtk, kemarin juga aku masih mengopi setiap soal dari tahun kemarin, haha ya itu kemarin .. kemarin aku masih menunggu kehadiran nya setiap jam istirahat berharap ia lewat kelasku, kemarin juga aku sibuk bulak balik ke warnet buat merevisi ulang KTI dan juga skripsi bahasa inggris dari mamang speaking, kemarin aku masih ke mamang bodong buat beli es nya, masih beli mie soto yang banyak airnya, masih suka sholat bareng di aula, masih suka makan siang bareng, masih suka jalan-jalan sendiri ngelilingi man 2, masih suka belajar mtk bareng suli, masih suka nanya-nanya tugas biologi ama ikawayu, diskusi kimia bareng bila, nanya tentang bahasa ke hepi,,
Waktu itu berlalu dengan cepatnya, tanpa kusadari itu semua adalah kemarin dan sudah menjadi sejarah yang tak terlupa bagiku. Ada begitu banyak hal yang indah namun kulewati dengan cepatnya, seperti saat itu saat hujan sore itu. Kita membersihkan kelas dan esoknya mencat nya, ingat? Of course tidak, haha. Seperti lagi saat pelajaran qurdis yang tugas kelompok membuat soal-soal uambn, ingat ? ohh, tidak. Yasudahlah, apapun yang kau pikirkan aku hanya berpikir satu hal, hah lupakan.
Ini hujan dan rasanya ia tak seindah dulu, yah kenapa saat kemarin aku begitu menggilainya? Hah tak habis pikir, padahal its ordinary, biasa aja tak istimewa, apa yang keren? Yah kemarin sepertinya aku sedang mabuk entah mabuk apa.
Today, kuhirup aroma kota pelajar di indonesia. This is real i am in here, sulit di percaya. Spechless tingkat dewa. Today is anugerah, today is smile, today is beautyful day . walaupun hari ini berbeda dari kemarin atau tak seindah kemarin, namun tetaplah hari ini harus dijalani. Karena setelah hari ini pasti ada besok yang masih misteri tersendiri hingga detik ini. Yaya bisa jadi bisa jadi J .
Namun ketakutan itu selalu datang menghadang, aku takut. Namun ini pilihan yang sudah aku ambil dan aku harus siap akan resiko yang menghadang. Ya ini untuk semua yang sudah mendukungku. Aku harus lebih baik dari kemarin. HARUS DAN HARUS.
Insya Allah kita sukses bersama Allah SWT. J