Hujan
kembali menyapa. Sejak beberapa bulan terakhir, hujan menghilang tanpa alasan
yang jelas. Kupandangi dedaunan yang menari riang gembira. Yah, masih ada
secercah bahagia, gumamku dalam hati. Aku sepi tak berkawan kala semua mengawan
dan berkawan, entah karena aku terlalu tak peduli atau mengacau, entahlah.
Saat
ini di tanganku tergenggam sebuah kamera yang sudah lama aku inginkan. Impianku
menjadi seorang fotografer ternama di dunia akan segera terwujud. Aku mencoba
mengatur fokus dan ketika itu kudapati seseorang yang menjadi sasaran terbaikku
saat ini. seseorang itu sedang fokus pada sebuah bacaan. ia tak menyadari
bidikan kameraku, alhasil aku mendapatkan hasil terbaik sore ini. siapa orang
itu? Sebuah tanda tanya besar muncul dibenakku, dan sekali lagi aku jawab,
entahlah. Ketika sedang asik-asiknya mengatur fokus, aku tau ia mulai sadar dan
melihat kameraku. Secepat cahaya aku beralih kepada pemandangan sekitarku.
Berhasil !! ia mulai membaca bukunya lagi. Saat melihat-lihat hasil bidikanku,
tiba-tiba ada suara, “maaf, mba, bukunya jatuh dan kertasnya berjatuhan.” Ia
!!! yang membaca buku itu. Aku hanya bisa terdiam sejenak dan tanpa sadar aku
tak berkedip sama sekali. “mba ? mba ?”, “oh, iya, makasih ,” ia tak menjawab
malah berlalu begitu saja. Bingung, aku hanya memikirkan kata-kataku, apa ada
yang salah ? seingatku tidak. Tidak sama sekali, ternyata dia orang yang tidak
jelas.
Pagi
ini sama seperti pagi-pagi yang sebelumnya. Hhhh, tapi aura pagi ini lain, ada
apa yah ? “dan, sini bentar !”, “siap, bu” aku bergegas ke dapur. “ibu kehabisan
bahan untuk kue, bisa nggak kamu ke swalayan depan itu loh,” “oh, bisa kok bu,
aku selalu bisa kok, kalau untuk ibu ku tercinta apa sih yang nggak ?” “ehm,
bisa aja, pasti ada maunya” “ihh, ibu suudzon aja, tapi ada benarnya juga sih”
aku melihat muka ibu yang tiba-tiba saja berubah datar. “nggak kok, bu,
kidding, bu”, “yaya, terserah, udah cepat kamu pergi biar bisa cepet selesai”.
“siapppp” jawabku dengan cara menghormat pada ibu seperti saat upacara.
Ada
banyak alasan mengapa aku tak begitu suka namanya swalayan. Karena pasti
didalamnya banyak orangnya, dan aku tak suka keramaian. Ditambah antrian yang
sangat panjang membuat kesalku makin menjadi-jadi. Setelah mencari-cari letak
bahan-bahan untuk kue, kumasukkan beberapa bahan yang diperlukan oleh ibu.
Setelah selesai, aku berjalan ke arah makanan-makanan kecil. Tiba-tiba, kaki
ini berhenti dan membeku. Oh Tuhan, itu lelaki yang kemarin. Terlihat ia sedang
memasukkan beberapa makanan kecil ke dalam keranjang belanja. Apa ? apa yang
harus kulakukan? Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku melangkah maju dan mulai
memilih-milih. Dia seperti tak menyadari kehadiranku dan berlalu saja tanpa
permisi. Pundakku langsung melemah, bodoh bodoh bodoh, mana mungkin dia ingat.
Hhhhh, mengantri. “maaf, mba ini punya mba?”, aku menoleh dan mendapati topi
syalku ada di tangannya. Ya, tangan dia. “oh, iya, terimakasih”, aku memasang
senyum terindah, namun ia hanya menunduk. Aghhh, ini cowok maunya apa sih?
Segera kubalikkan tubuhku menghadap ke depan kembali.
Ketika
sampai di luar, kudapati hujan turun tanpa permisi, aku termenung sejenak dan
kuputuskan untuk membaca buku di dalam toko buku yang ada di jejeran swalayan
ini. detik demi detik kulewati hujan di luar semakin menggila. Aku tak membawa
kameraku, dan itu merupakan kesalahan terbesar karena kini aku bosan dan aku
perlu kameraku. “ikut gabung, yah”, aku yang sedang menhadap jendela menghadap
arah suara dan kudapati ternyata lelaki itu lagi. Kesal, karena responnya
terhadapku tak pernah baik kubalikkan tubuh ini lagi menghadap jendela. Hening.
Sebenarnya aku benci keheningan yang tak jelas seperti ini namun respon orang
di depanku selalu saja datar sehingga membuatku malas untuk memulai terlebih
dahulu. “sayannngg, ...” terdengar sebuah teriakan membuat semua orang termasuk
aku dan dia dengan refleksnya mengarah pada arah suara. Ia membalikkan tubuh
dan menghadapku, mukanya berubah menjadi masam. Ada apa? Wanita itu
menghampirinya dan memeluknya dengan mesra serasa aku tak ada di antara mereka.
Apa-apaan ini? perlahan kubalikkan tubuh ini dan kembali menghadap jendela. “lepasin,
apa-apaan sih, ra? Kamu mau membuatku malu?”, “ kok kamu gitu?,” “gitu apanya?
Apa kurang jelas ? aku gak suka sama kamu,” laki-laki ini jahat sekali. Geram,
aku langsung membalikkan tubuh dan “eh, lo tuh gak punya perasaan apa? Masa
nolak cewek di depan umum gini. Apa lo gak ngerti rasanya dipermalukan di depan
umum? Dasar cowok aneh. Lo bayangin dong, gimana kalau kakak lo atau adik lo
yang dipermalukan di depan umum, apa lo tega? Arggghhhh, gila gue di sini,” aku
berlalu begitu saja tak ku hiraukan berbagai macam pandangan orang termasuk
responnya pun aku tak mau tahu, paling-paling hanya kata ‘oh’.
Hujan
masih menguyurku dengan derasnya, tak ada pilihan lain lagi aku tak bisa
terlalu lama di tempat terkutuk itu. Aku tak bisa menahan ini, aku merasakan
sesak seketika dan air mataku pun jatuh perlahan dan semakin deras. Kenangan
buruk itu muncul lagi, kenangan saat aku mengatakan aku suka pada seorang pria
namun pria itu hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia sudah mempunyai pacar.
Arggghhh, aku terduduk di pinggiran jalan dengan tetap menangis. Aku merasakan
kesedihan wanita tadi. Aku yang ditolak seorang pria di belakang sekolah saja
sudah begini sakit apalagi wanita itu ditolak secara terang-terangan di depan
umum. Tiba-tiba derasnya hujan tak kurasakan padahal suara hujan tetap ada,
penasaran aku menengadah dan melihat dia dengan basah kuyup sedang memayungiku.
“malah bengong lagi, ayo cepat bangun, dingin nih,” tak kuhiraukan
perkataannya. “hey, cewek sok tahu, ayo bangun” apa dia bilang? Cewek sok tahu?
Aku mulai berdiri dan ketika ingin jatuh lagi, tangannya menyanggaku.
“terimakasih,” jawabku singkat seraya berlalu. Ayo kejar, please kejar, ternyata
ia pulang sendiri dengan mobilnya. Terus tadi ia apa-apaan ? hanya numpang
lewat? Entahlah.
Keesokan
harinya, aku terduduk di taman, pertama kali aku mendapatkan sosoknya. Tak
berpikir jauh, aku hanya sedang memikirkan hal terakhir yang ia lakukan. Huh,
dasar perempuan dibaikin dikit aja langsung gede rasa. Lelah rasanya memikirkan
hal yang tak pasti. Segera saja ku gerakkan kameraku untuk mengabadikan sore
ini. Tepat saja di bangku yang sama ia duduk di sana. Apa maksudnya? Enggan aku
melihat sosoknya yang tak pernah jelas dimataku, siapa dia, bagaimana
kehidupannya, aku tak tahu semua itu. Bosan di taman, akhirnya aku pergi ke
perpustakaan daerah. Sepi, tenang dan menyejukkan, setelah membaca beberapa
buku, kantuk menyerang dan tak bisa kutahan lebih lama lagi. Waktu berlalu dan
tak terasa sudah pukul 6 sore. Terkejut karena mendengar pengumuman
perpustakaan tutup 10 menit lagi, dengan tergesa-gesa ku kembalikkan buku-buku
yang tadi sempat kubaca hingga sampai buku terakhir letaknya tinggi sekali,
karena terlalu tergesa-gesa belum berhasil mengembalikkan buku, seluruh buku
yang ada di rak tertinggi itu bergerak dan jatuh tepat di kepalaku. Seketika
menghitam.
Ruangan ini berwarna putih semua,
apakah aku di surga ? tidak-tidak, terakhir ku ingat aku ada di perpustakaan.
Siapa yang membawaku ke tempat ini?. Jendela di ruangan ini terbuka, segera
saja ku melihat jendela dan melihat suasana di luar, kulirik jam dinding
menunjukkan pukul 8. “eh, sudah bangun,” kubalikkan tubuhku dan melihat seorang
suster datang membawa sarapan pagi. “selamat pagi,” sapanya dengan hangat, aku
hanya tersenyum. “pacarmu itu perhatian banget yah, sampai mau membopongmu
sendirian ke ruangan ini, ketemu di mana sama orang sweet kaya gitu.” “pacar? Maksud, mba siapa yah? Aku gak punya
pacar loh, mba,” “waduh, lagi berantem yah? Udah baikan aja, cowok baik kaya
gitu jarang banget loh ditemuin malah gak ada kayanya, saya juga pengen loh
punya cowok kaya gitu, udah baikan aja,” ku hanya bisa mengerutkan dahi tanda
tak mengerti apapun. “mba, aku gak punya pacar,” ku tegaskan kata-kata itu
berulang-ulang. “paling sebentar lagi cowokmu yang sweet itu datang, udah sweet
orangnya, sweet kelakuannya lagi.”
Aku hanya memanyunkan mulutku tanda bahwa aku tak ingin menggubris suster aneh
ini. “yaudah, saya permisi dulu, selamat pagi, salam buat cowoknya, hehe,” aku
hanya terdiam dan kembalikkan tubuh menghadap jendela. Kamera? Yah kameraku ke mana?
Segera saja kulihat meja tempat tidurku, tidak ada. Haduh, jangan panik,
please. TIDAK !! kameraku ke mana? Kucari ke seluruh tempat yang ada di
sekelilingku, lemari meja, kolong tempat tidur sampai kamar mandi ku jelajahi.
Oh, tidak, YA ALLAH, kameraku ke mana? Pasrah karena sudah terlalu lelah
mencari, aku kembali ke tempat tidur dan berharap ini semua adalah mimpi. Sudah
berapa lama aku tertidur? Aku terbangun dan kembali teringat kameraku,
“kamera?” ternyata ada seseorang yang sedang membaca koran di kamarku.
Pikiranku bercabang ke mana-mana, bagaimana kalau penguntit,atau pencuri,atau
perampok, atau pemerkosa, atau pembunuh, atau dia mata-mata dari intel di
Amerika, atau dia teroris? Bagaimana? Bagaimana ini? Ia megembalikkan koran ke tempatnya
seperti semula. Setelah ia tersadar aku sudah terbangun ia hanya berkata
“selamat sore, putri tidur,” dia? Dia lagi, tak tahan lagi akhirnya kuberanikan
diri untuk bertanya, “kamu siapa?” “namaku? Aku Aji.” “kamu yang bawa aku
kesini?” “ya, ada masalah?,” “kamu dapet salam dari suster di sini tadi pagi.”
Hening. “namamu siapa?” “Indana, Indana Larasati, biasa dipanggil, dana.”
Hening lagi. “ kameraku mana yah?” “oh, iya, ada di aku, nih...” seraya
memberikan kameraku. Kulihat-lihat kameraku, “tenang, gak ada yang lecet kok.
Tadinya kameramu mau aku simpan di sebelahmu saja, tapi sayangnya kamar ini tak
bisa aku pegang kuncinya. Jadi untuk meminimalisir kejahatan sekitar aku
amankan di rumahku, gak masalah kan?” “oh, makasih yah,” seraya kugulumkan
senyum tulus untuknya dan tak disangka ia membalas senyumku. Luluh lantahlah
hati ini, haduh bisa gawat ini. “eh, gimana keadaanmu? Udah gak kenapa-napakan
kepalanya?” tangannya tiba-tiba saja mengarah ke kepalaku dan menyentuh
benjolan di kepalaku dengan lembutnya, kutarik tangannya agar tidak menyentuhku
lagi. “maaf,,” ia pun merasa bersalah dan menundukkan pandangannya. “gak
masalah, jangan diulang yah?,” hening kemudian. “kak aji, boleh kan aku manggil
kakak?” “oh, iya gak papah kok,” “kak, kenapa kakak bisa bawa aku ke rumah
sakit?” “saat itu, aku yang jaga shift sore di perpustakaan..” “oh, jadi kakak
penjaga perpustakaan?” “yah, aku lulusan ilmu keperpustakaan di sebuah
universitas negeri.” “waw, kece banget” perbincangan berlanjut hingga tak
terasa waktu berlalu, ternyata ia tak sedingin yang kukira.
Sejak hari itu, aku selalu ada
teman ketika kemana pun, ia adalah tipe orang yang mudah mengakrabkan diri, tak
seperti yang kubayangkan. Di kameraku, puluhan fotonya memenuhi memoriku, dan
ternyata ia orang yang sangat akrab dengan kamera sehingga aku tak perlu
memaksanya untuk bergaya ini dan itu, cukup dengan ia terdiam saja seluruh
pemandangan yang ada hanya memperindahnya. Fokusku selama ini hanya dia, kami
mengunjungi berbagai macam tempat, dan lagi-lagi hanya dia yang ingin aku
potret dan senangnya ia pun dengan sukarela tersenyum ke arah kameraku.
Sebenarnya aku yang berlebihan atau dia memang orang yang narsis? Entahlah. Tak
sedikit pula, foto ketika berdua. Namun ia tetap yang termanis dengan lesung
pipi yang menambah manis suasana. Disela-sela perjalanan, dia mulai banyak
bercerita tentang kehidupannya, tentang keluarganya, tentang teman-temannya,
bahkan tentang beberapa cewek yang ditolaknya beberapa kali. Tak jarang ia
di’tembak’ seorang cewek sampai beberapa kali, sosoknya yang misterius memang
menjadi tantangan bagi semua orang yang ingin mengenalnya lebih jauh. Buktinya
sampai saat ini aku masih mengaguminya karena kemisteriusannya masih belum
terungkap seutuhnya. Aku pun akhirnya tak ragu berbagi kisah yang sama dengannya.
Namun bedanya aku tak memiliki pengalaman sama sekali tentang di’tembak’ itu,
aku hanya punya satu dan itu pun aku yang mengutarakan. Dan sedihnya, ia malah
menertawakan. “apa yang lucu, coba? Ini kan cerita sedih,” kumanyunkan mulut
ini. “haha, iya sih sedih tapi ekspresimu itu loh gak nahan,” aku tetap bingung
dan memasang wajah bingung dan malu. Tiba-tiba saja tangannya mencubit kedua
pipiku, “ihhh, jangan mengelembungin pipi gitu, gemes tauu,” pipiku dicubitnya
lagi. Aku kaget luar biasa dan tak bereaksi banyak. Ia tetap saja tertawa
bahagia, lesung di pipinya terbentuk dengan sempurna, manisnya. Aku pun
tersenyum bukan karena mengerti apa yang dia tertawakan tapi karena mensyukuri
ada orang termanis yang aku suka di sampingku.
Malamnya,
kami makan di sebuah restoran termewah di kota ini. “kak aj, kenapa makan di
sini? Kaya orang pacaran aja,” “emang kita pacaran kan?,” tiba-tiba saja motor
bersuara keras lewat. “hah? Apa kak? Maaf tadi ada motor lewat,” “oh, gak
penting kok, mau pesan apa?” sepertinya ada yang disembunyikan,pikirku curiga. Tak
lupa ku abadikan setiap waktu di sini dalam kameraku, “ngurusin kamera aja,
makannya dingin tuh, aku aja udah abis,” “hah? Abis?, cepet banget,” memang
benar piringnya sudah bersih dari makanan. “mau aku suapin?” tawarannya hampir
membuatku tersedak, “gak, gak usah,” jawabku seraya masih menguyah makanan,
“heh, telen dulu yang bener baru ngomong,” “ehehe,” “dana..” aku bingung, “ada
apa, kak?,” ia tetap menatapku, “haduh, kak, aku takut kalau diliatinnya kaya
gitu,” “hahaha,,” “idih, kok ngekek..” “tuh kan, terbukti kamu tuh lucu banget,
gimana mau di’tembak’ cowok, baru diliatin gitu aja udah takut,” aku kembali
menggelembungkan pipiku. “tenang aja, dana, aku gak bakal nyakitin kamu kok,”
aku benar-benar tersedak, uhuk-uhuk, “hahaha,, “ aku benar-benar marah. “kak
aji, aku tuh bukan badut, jadi jangan diketawain aja dong, malu tuh diliatin,”
ternyata tertawanya masih berlanjut. “thank’s, dan, hari ini aku bahagia
banget.” Aku terdiam, “hey, jawab, ini bukan jebakan kok,” “tetap aja, nanti
diketawain,” “serius, aku berterimakasih banget ama kamu,” ketika itu, wajahnya
menampakkan keseriusan. “hehe, sama-sama, kak,”
Malam
itu menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya, keesokan harinya ia akan
pergi ke Inggris untuk melanjutkan studinya. Tak pernah terbayang sebelumnya,
seminggu terakhir ditemaninya ternyata sebuah kenangan terindah. Aku
mengantarnya ke bandara. “kak aji, kenapa ngedadak gini sih?” “tenang aja,
danaku, aku gak lama kok kan cuman ngejar beasiswa S2 selama tiga tahun,” “tapi
kan,,” “eh, ayo foto,” “tetap aja yah, narsis nya gak ilang,” aku pun
memotretnya dia memotretku, dan kami pun foto berdua. Ketika waktu penerbangan
sudah tiba, “dana, maukah kamu menungguku?” aku mengerenyutkan dahi “yah,
menungguku, tiga tahun lagi ..” aku semakin tak mengerti. “tolong, jangan
terima siapapun, tiga tahun, dan, aku janji tiga tahun lagi aku akan memberikan
yang terindah yang bisa kuberikan.” Dia memelukku dengan lembut dan kemudian
pergi. tiga tahun lagi? Yang terindah? Apa yah kejutannya? Aku menatap
punggungnya yang semakin menjauh. “kak
Aji, asal kakak tahu tanpa diminta pun aku akan menunggu kakak.” Ku
ambil gambarnya dan ku fokuskan kameraku padanya yang semakin jauh.
Tiga
tahun berlalu..
Tiba-tiba
saja ada yang menutup mataku dengan slayer hitam. “aduh, gelap, apa-apaan
sih?!” “haha, galak amat sih,” suara khasnya mampu mencairkan hatiku. “kak Aji,
ngapain sih, kak. Kaya anak kecil aja deh. main petak umpet yah?” “yayaya, bisa
jadi. Ayo, ikuti aku. Pelan-pelan, awas batu.” “sumpah, ya kak. Ini aku udah
kaya orang buta aja.” “no comment,” setelah agak lama berjalan akhirnya
berhenti juga. “sebelum buka mata, aku mau bicara dulu..” “yaelah, dari tadi
kan udah ngomong,” “ini omongan serius. Please, kamu .. jangan ..mikirin aku
terus yah” aku membalikkan badan, dan berjalan hendak pulang. “eh, iyayaya,
jangan ngambek dong itu tadi bercanda.” “iya, udah tau kok makanya aku mau
pulang biar kakak bercanda sendirian.” “jahat banget sih,” “ihh, suka-suka aku
yah, abis bercandanya gak jelas gitu. Kak, menutup mataku udah boleh dibuka?”
“makanya, ayo balik lagi tempat tadi tuh udah strategis banget.” Dia
mengarahkanku lagi dengan sabarnya. “sekarang, buka matamu.” “sekarang?” “ya,
kalau kamu mau sekarang.” Tak sabar dengan kejutannya aku membuka mata
perlahan. Ketika melihat apa yang ada di depanku, tak bisa kupercaya ini.
sebuah studio foto. “didalamnya belum ada apa-apanya sih, kan nanti diisinya
sama .. eh kok kamu malah nangis?” ia menyodorkan saputangan padaku. Aku tak
kuasa untuk melihat kejutan ini kupeluk kak Aji dengan spontannya. “kakak, aku
bahagiaa banget. Terima kasih banyak.” Setelah sadar, aku langsung melepas
pelukanku. “maaf, kak.” Ia hanya tersenyum. “oh, iya, dan, ayo masuk.” Ketika
masuk aku terbelalak, ini ruangan terhebat yang pernah ada. “kak, tempatnya
bagus banget. Nanti di sebelah sini ada meja, kursi..” dan selanjutnya aku
sibuk merencanakan isi dari ruangan ini. “sebenarnya masih ada dua kejutan
lagi.” Aku berbalik ke arahnya. “dua??” ia hanya menganggukkan kepalanya dengan
pasti. “kejutan selanjutnya.. tapi sebelumnya tutup mata lagi dong..” setelah
aku menutup mata, “nah, sekarang buka matamu..” aku membuka mataku dan bingung.
“ini adalah tiket pesawat..” “anak kecil juga tau kali, kak” “eit, jangan
dipotong dulu. Dua tiket ini adalah jalan untuk kita pergi ke Paris. Berita
bahagianya, kamu selama di sana akan mendapatkan pelatihan menjadi fotografer
dunia yang handal. Gratis, selama enam bulan.. Dan? Dana?” aku tak berkedip
sama sekali. Ku cubit kedua pipi kak Aji. “kak Aji, aku senang banget” “aww,
gak usah nyubit juga kali. Yah, kebetulan selagi aku di Inggris, aku bertemu
banyak teman. Satu diantaranya yang punya bisnis fotografi terkenal di Paris.
Dia menawariku dan aku langsung teringat satu makhluk terasingkan di Indonesia..”
“apa? Makhluk asing? Kakak !!! aku tak akan membiarkan penindasan ini, liat
saja tanggal mainnya,” “haha, kita tunggu saja. Selanjutnya kejutan terakhir.
Ayo, tutup matamu..” kembali kututup mataku. “Now, open your eyes” aku membuka mata dengan perlahan. Aku kaget
ketika posisi kak Aji tepat berada di depanku dengan tatapan tenangnya. “loh,
mana kejutannya?” “kejutannya adalah aku.” “yee, bercanda lagi kan?” “serius.
Dana, maukah kau menikah denganku?” selanjutnya dia mengeluarkan sesuatu dari
sakunya. Sebuah cincin. “Dana?” “haha, kakak bercanda mulu nih,” “Dana, aku
serius. Kamu mau gak nikah sama aku?” “nikah? Kenapa kita gak pacaran aja
dulu?” “tak ada kata pacaran dalam kamus hidupku. Dan satu prinsipku, aku akan
mengenal lebih jauh tentang wanita ketika dia sudah kupilih menjadi calon
istriku. Makanya, aku selalu menolak ‘tembak’an dari para cewek karena itu
artinya mereka yang ingin aku, tapi akunya gak sama sekali. Dan ketika
melihatmu pertama kali di taman, aku tau kamu adalah orang yang tepat.” “apa
indikasinya aku dibilang tepat?” “pertama, kamu gak pernah sekalipun pacaran.
Kedua, kamu itu orangnya optimis dan selalu berpikiran positif terbukti dari
setiap percakapan, kamu selalu melihat sesuatu dari sisi yang berbeda.
Terakhir, kamu itu hanya untukku, terbukti dengan tiga tahunnya aku di Inggris.
Kita tetep kontekan, dan kamu tetap sendiri setia menungguku.” Aku
terkagum-kagum, “jadi, selama ini kak Aji memperhatikanku? Ya ampun, sweet banget
sih, diem-diem tapi tetap menilai.” “yee, keluar deh alaynya, cepet jawab, mau
gak? Atau aku cari yang lain nih” “sok aja kalau bisa,” ia mencubit pipiku
dengan kerasnya. “kak, sakit tau !!” “kamu tuh ngegemesin,” “sepertinya gak
bakal ada yang sepertiku lagi,” “kok pede banget?” “iyalah, mana ada yang mau
dicubit pipinya selain aku, mana ada.” “so?” “so, I agree with you, and accept
your .. lamaran apa ya, kak, bahasa Inggrisnya?” “haha, sok-sokan pake bahasa
Inggris, ok ok, sini tanganmu,” aku menyodorkan tangan dan dia memasukkan
cincinnya di jari manisku. “kita nikah minggu depan. Semua udah beres, undangan
siap disebar, tempatnya di Bali, chatering ok, dan sekarang kita tinggal
fitting baju. Kita jalan sekarang?” “kak aji, ini namanya bukan tiga kejutan
tapi berjuta kejutan..” “yayaya, gak usah alay gitu, biasa aja kok. Satu lagi,
kamu gak usah panggil aku kakak lagi yah, kita kan sebaya.” “kok ? tau
darimana? Umurmu baru dua puluh tahun, akupun sama.” “masa? Aku sembilas belas
kok, belum dua puluh. Lagian kakak kan udah S2 masa baru dua puluh tahun?”
“sembilan belas dari hongkong, hari ini kan kamu ulang tahun. Ehmm, jangan
bilang kamu lupa ultahmu kapan. Iya, jadi aku ikut akselerasi gitu. SD, aku
cuman empat tahun, SMP, aku cuman dua tahun, SMA aku juga dua tahun. S1 3,5
tahun.” “waw, pamer nih ceritanya. Eh tunggu dulu. aku ultah? Seriusan?” “hemm,
mboh lah.” Jawabnya seraya berlalu.
“Dana, cepet, kita udah ditunggu” “siap, kak.. eh, ihh, enakan kakak tauuu.
Yayaya, panggil kakak aja yah, please..” “kesannya tua tau,” “ihh, kok kak Aji
jadi manja gitu, ihh” aku segera masuk mobil. “Dana, siap-siap yah pipinya aku
cubit sekeras-kerasnya,”
Dan
begitu, aku kini mulai berkawan di negeri dongeng yang kuimpikan, Paris. Mimpiku
takan terhenti sampai di sini. Masih banyak mimpiku yang lain yang akan
kuwujudkan bersama sosoknya. Sosok yang duduk di taman itu dan sedang membaca
buku. Kuarahkan fokusku padanya lagi dan lagi dan mungkin tak bisa kualihkan. Aku
memang tak pernah merasakan yang namanya di’tembak’ cowok namun aku merasa
kisah cintaku lebih indah dibanding yang lainnya karena kini ku tahu satu hal,
jatuh cinta itu indah ketika kita sudah menjadi yang halal baginya.